Pendahuluan
Sejarah penulisan hadist sering kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas hadist Nabi lantaran mereka berargumen bahwa hadist Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna hadist yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisan dan pembukuan dengan benar.Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadist Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya.Pada makalah ini penulis mencoba berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang penulisan dan pembukuan hadist Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad ke 7 H hingga sekarang.
Penulisan dan Pembukuan Hadist Secara Resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadist-hadist Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan hadis secara resmi[1],hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadist[2]. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan dalam penghimpunan hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek[3]. Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadist disini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadist, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadist yang dapat disaksikan sekarang ini.[4]
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadist-hadist tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[5]
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadist begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadist yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah, hadist yang dipercaya kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.[6]
Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan terhadap hadist-hadist Nabi,[7] Tetapi pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian dari agama.[8] Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.[9]Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya. Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama.
Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadist ( Abad ke 3 H )
Menurut ahli hadist,yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadist adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa hadist sudah dibukukan pada masa yang lebih awal.[10]. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadist berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist, terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadist yang semakin marak.[11] Dalam setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di berbagai bidang fikih dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadist mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentanganmazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.
Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada ahli hadist serta menuduh ahli hadist bodoh dan dungu.[12] Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadist dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadist yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadist yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian hadist yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini adalah :
- Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadist Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
- Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadist-hadistShahih, juga dijumpai hadist yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
- Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti hurufhijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis tersebut merupakan kebutuhan untuk menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber atau murni dari Nabi SAW dengan sanad dan perawi yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist tersebut maka hadist tersebut dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah sekaligus.
Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist (Abad 4 s/d 7 H)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.[13]
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadist dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah :
- Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
- Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
- Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
- Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
- Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.[14]
Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanaddan matannya yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.[15] Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu :
Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian darimatan hadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baiksanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
- Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri.
- Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti :
- Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
- Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
- Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.
Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran dan pembahasan Hadist (Abad 7 H s/d sekarang)
Kegiatan periwayatan hadist
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam.
Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan hadist pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah.[16] Sedikit sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di antaranya : - Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
- Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.[17]
Pada masa ini, para ulama hadist pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadist yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrijdan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadist pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadist tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa hadist tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadist tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadist dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadist dari guru-guru mereka.[18]
Bentuk penyusunan kitab hadist
Pada periode ini, umumnya para ulama hadist mempelajari kitab-kitab hadist yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut :
Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[19] Di antara contohnya adalah : - Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
- Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
- ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadist, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalahZawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadist-hadist riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
Kitab Petunjuk (kode indeks) hadist. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan hadist pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadist-hadist yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij hadist-hadist yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari berbagai kitab hadist tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadist-hadist Bukhari dan Muslim.
Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya,Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[20]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli hadist tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri hadist-hadist yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas hadist-hadist tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan hadist-hadist yang daif. Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad ke II H
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.
Kitab-kitab hadits yang disusun pada abad ke II H Ialah :
(1) Al Muwatto karya Imam Malik.
(2) Al Maroghi, karya Muhammad bin Ishaq.
(3) Al Jami’, karya Abdurrazad.
(4) Al Musannaf, karya Al Auza’i.
(5) Al-Musnad,karyaAsy-Syafi’
MASA-MASA PERKEMBANGAN HADIST
Masa Pembentukan Hadist
Masa pembentukan hadist tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadist belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya (610 M-632 M)
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadist belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadist dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima hadist baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya hadist palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadist baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadist itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan hadist. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadist yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadist marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadist. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadist sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadist dan memisahkan kumpulan hadist yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadist pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadist yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadist terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadist seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Hadis abad 4 H.
Kesimpulan
Pengumpulan hadist secara resmi telah dimulai sejak Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yaitu awal abad ke 2, hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan hadist agar hadist tersebut tidak hilang bersama penghafal hadist, di samping itu merupakan tuntutan kondisi umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin luas, sehingga diperlukan suatu rujukan hukum berupa hadist setelah al-Qur’an
Sesudah itu, penulisan dan pembukuan hadist melewati beberapa proses yang semuanya bertujuan mencapai kesempurnaan dan penjagaan atas keaslian hadist-1hadist tersebut.
Dalam pemilahan hadist yang shahih dan yang palsu, kiranya kita harus melihatsanad dan matannya, dan yang terlebih lagi hadist tersebut tidak mempunyai pertentangan dan tidak menjadi kepentingan politik golongan tertentu pada masa silam sehingga dilestarikannya dengan hadist pemalsuan.
Kritik dan Saran
Sesuai dengan hadist Nabi SAW :
تركت فيكم امرين لن تضل ابدا,ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
Artinya : Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara,jika sekiranya kalian berpegan atas keduanya maka tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab ALLAH dan sunata Rasulihi.
[1] Nasir Yuslem,Ulumul Hadist,(Jakarta:Mutiara Sumber Widya,2001)cet l.h.125 [2] Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadist wa Musthalahuh (Libanon: Dar al-‘llm al-Malayin,1977),h.45 [4] Shubudi Islami,Pengantar Ilmu Hadist (Bandung:Angkasa, 1991),h.69 [5] Ibrahim Hasan,Sejarah dan Kebudayaan Islam (jakarta: Kalam Mulia,2003).h.97 [6] Mun’im Qindil, Kehidupan orang-orang shaleh(Semarang: Asy Syifa’,t.t),.209 [7] M.M Azami, Hadist Nabawidan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta:Pustaka Firdaus,1994),h.106. [8] Abuddin Nata,Al-qur’an dan Hadist (Jakarta: Raja Girafindo Persada,1996),h.158 [10] Azami, Hadist Nabi…….h. 108. [11] Yuslem, Ulumul Hadist………..,h.133. [12] M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembagan Hadist (Jakarta: Bulan Bintang ,1988,h.87. [13] Syaikh Manna’ al-Qathtan, Mabahis Fi Ulumil Hadist, terjemah Mifdhol Abdurrahman ,Pengantar Studi Ilmu Hadist(Jakarta: Al- Kausar,2005),h. 45. [14] Yuslem, Ulumul Hadist……h.139. [16] Ijazah adalah pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist-hadist yang berasal dari guru tersebut,baik yang tertulis maupun yang berupa hafalan.Sedangkan mukatabah adalah pemberian catatan hadist dari seorang guru kepada orang lain (muridnya),baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun didiktekan kepada muridnya . Lihat Nawir Yuslem , Ulumul Hadist……h. 143 [18] Farhur Rahman , Ikhtishar Muthalahul Hadist (Bandung :Alma’arif. 1974), h 296. [19] Yuslem , Ulumul Hadist, h. 144.