Perpindahan kekuasaan ini terjadi karena Umar Bin Khattab secara aklamasi telah mendapat persetujuan dari para sahabat besar dan umat Islam lainnya, sehingga ketika Abu Bakar wafat maka secara otomatis kepemimpinan itu jatuh ke tangan khalifah Umar Bin Khattab. Umar bin al-Khaththab Umar bin al-Khaththab al-Faruq menggantikan seluruh tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya sebagai Amirul Mukminin, Beliaulah yang pertama kali menyebut dirinya dengan gelar Amirul Mukminin -orang yang pertama kali memanggilnya dengan gelar tersebut adalah al-Mughirah bin Syu’bah dan ada yang berpendapat bukan al-Mughirah tetapi orang lain.
Cerita lain dikemukakan sebagai berikut :
Sewaktu masih terbaring sakit, menjelang beliau wafat, Khalifah Abu Bakar secara diam-diam melakukan tinjau pendapat terhadapat tokoh-tokoh terkemuka dali kalangan Al Shahabi mengenai pribadi yang layak untuk menggantikannya kelak. Pilihannya jatuh kepada Umar ibn Khatthab akan tetapi ia ingin mendengarkan pendapat tokoh-tokoh lainnya.
Terlebih dahulu diundangnya Abrdurraman ibn ‘Auf dan berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“Bagaimana pendapat anda tetang Umar?”
“Dia itu, demi Allah, terlebih utama dari siapapun yang berada di dalam pemikiran anda. Cuma sikapnya keras.”
“Hal itu disebabkan dia menampakku terlalu lembut. Jikalau pimpinan diserahkan kepadanya niscaya sikapnya itu akan berubah. Coba perhatikan, hai Abu Muhammad, jikalau aku marah kepada seseorang maka dia membela orang itu. Sebaliknya jikalau aku bersikap lunak terhadap seseorang maka dia sengaja bersikap keras terhdap orang itu. Nah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
“Baiklah.”
Pada hari berikutnya diundangnya Utsman ibn Affan dan berlangsung tinjau pendapat sebagai berikut :
“Bagaimana pendapat anda, hai Aba Abdillah, tentang Umar?”
“Anda lebih arif dalam hal itu”
“Benar, hai Aba Abdirrahman, tapi saya meminta pendapat anda.”
“Pengetahuanku tetang Umar ialah hatinya baik sekalipun sikapnya tampak keras. Tiada seorangpun serupa dia dalam lingkungan kita.”
“Baiklah, saya minta rundingan kita ini antara kita berdua saja buat sementara.”
Berikutnya iapun mengundang Thulhah ibn Ubaidillah dan berlangsung tinjau pendapat dan tokoh ini menyatakan pendapatnya sebagai berikut :
“Anda menunjuknya pengganti anda. Anda menyaksikan apa yang diperbuatnya terhadap orang banyak, sedangkan anda masih hidup. Apalagi jikalau sudah terpegang pimpinan seorang diri, dan anda berangkat ke dalam haribaan Tuhan. Sebaliknya anda tanyakan pendapat orang banyak.”
Khalifah Abu Bakar saat itu tengah terbaring. Ia meminta didudukkan dan dibantu mendudukkannya oleh Thulhah, dan iapun berkata :
“Apakah anda mengkhawatirkan tanggungjawabku terhadap Allah? Jikalau ajalku sampai dan Allah bertanyakan tanggungjawabku maka aku akan berkata :”aku telah menunjuk penggantiku, bagi kepentingan hamba-Mu, seseorang yang terbaik dari hamba-Mu itu.”
Pada hari berikutnya, sesuai dengan anjuran Thulhah ibn Ubaidillah, iapun mengundang orang banyak. Ia didudukkan oleh isterinya Asmak binti ‘Umais dan berada dalam pelukannya. Pembicaraan khalifah Abu Bakar singkat di antara lainnya berbunyi :
“Sudilah mengemukakan pendapat kamu semuanya mengenai orang yang akan aku tunjuk untuk penggantiku. Demi Allah, penunjukkan itu bukan tanpa memikirkannya sungguh-sungguh dan bukan pula aku menunjuk lingkungan keluargaku. Aku menunjuk penggantiku itu Umar ibn Khatthab. Sudilah menerimanya dan mematuhinya.”
Jawaban serentak ketika itu berbunyi ; “Sami’na wa Atha’na.” Yang bermakna :kami dengar dan kami patuhi.”
Abu Abdillah Muhammad Al-Waqidi (130-207H/747-822M), ahli sejarah terkenal itu, di dalam karyanya Al-Maghazi mencatat bahwa Khalifah Abu Bakar, setelah dibawa masuk kembali dan dibaringkan, mengundang Utsman ibn ‘Affan dan memintanya menuliskan Amanatnya berbunyi :”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah perjanjian yang diikat Abu Bakar ibn Abi Kahafah terhadap kaum Muslimin. Adapun kemudian ......”
Ia mendiktekannya berupa kata demi kata, akan tetapi sampai di situ, iapun tak sadarkan dirinya. Utsman melanjutkan bunyi amanat itu berbunyi :”adapun kemudian, aku menunjuk Umar ibn Khatthab untuk penggantiku, dan hal itu untuk kebaikan semuanya.”
Belakangan iapun sadar kembali, meminta dibacakan kalimat yang sudah di diktekannya, dan ternyata Utsman ibn ‘Affan membaca keseluruhannya. Khalifah Abu Bakar mendadak Takbir sehabis mendengarkan isi keseluruhan amanat itu dan berkata kepada Utsman : “tampakku anda khawatir bahwa orang banyak akan berbeda pendapat kembali andaikan ajalku tiba pada saat tak sadar tadi.”
“Benar”
“Semoga Allah akan memberikan imbalannya terhadap anda atas niat baik anda terhadap agama Islam dan pemelukknya.”
Ia pun mengundang Umar ibn Khatthab, dan menyampaikan amanatnya, yang amat tercatat dalam sejarah, berbunyi :
“Hai Umar ibn Khatthab : Allah memikulkan tanggungjawab pada malam hari dan jangan tangguhkan kepada siang hari, Allah memikulkan tanggungjawab pada siang hari dan jangan tangguhkan kepada malam hari.”
“Allah akan menerima amal sunat sebelum amal fardhu dilaksanakan. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan berat pada Hari Kemudian disebabkan melaksanakan Kebenaran. Bukankah anda tahu, hai Umar, bahwa daun neraca seseorang itu akan ringan pada Hari Kemudian disebabkan membela Kepalsuan.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, Bahwa ayat-ayat Sukaria itu senantiasa didampingi ayat-ayat Ancaman, dan ayat-ayat Ancaman itu senantiasa didampingi ayat-ayat Sukaria. Tujuannya suapaya manusia itu gembira disertai gentar. Bergembira dengan penuh harap akan tetapi bukan terhdap hal-hal yang tidak diridhoi oleh Allah, hingga akan tidak gentar menghadap Allah kelak.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang penderitaan penduduk Neraka. Jika anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam diri : janganlah aku termasuk pihak itu.”
“Bukankah anda saksikan, hai Umar, bahwa Allah bercerita tentang kebahagiaan penduduk Sorga. Jikalau anda mengingatnya maka ucapkanlah di dalam diri : aku akan beramal seperti amal mereka itu.”
“Itulah amanatku kepada anda. Jikalau anda memperpegangi amanatku itu maka mudah-mudahan anda akan tidak lebih mencintai yang tak tampak daripada yang tampak.”
Setelah Abu Bakar bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian, mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan Umat Islam. Kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar.